“it`s not only problem of education, but it`s problem of mentality”,
Prof, Dr. Budiono Kusumohamidjojo
Menjelang pemilu 2009, situasi politik kian panas. Para capres, caleg, dan para pemimpin partai politik besar saling klaim menjadi pemenang pemilu. Singkatnya, pertarungan belum dimulai sudah saling sikut. Tak mau kalah dengan gertakan dari partai politik besar seperti Golkar, PDI-P, Demokrat, atau PAN, dan lain-lain, Partai yang baru berdiri kemarin sore juga ikut-ikutan mengklaim. Dan menjadi pemenang pemilu Nasional. Apakah ini hanya sebuah gertakan sambal? Tunggu tanggal main-nya, begitulah komentar salah seorang fungsionaris partai politik. Yang penting menang, dan kembali ke Senayan, lanjutnya.
Sensasi para capres tidak kalah serunya. Dengan kendaraan politik yang dimiliki seperti Partai politik, organisasi kemasyarakatan seolah sudah memenangi pertarungan. Mengumbar janji menjadi pemerintahan yang bersih, tegas, sungguh-sungguh mengabdi untuk rakyat, hingga janji sekolah gratis bagi orang yang miskin. Vonis terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa pun dilakukan. Singkatnya, pemerintah sekarang dianggap gagal, kurang tegas, tak peduli terhadap rakyat yang mengakibatkan angka kemiskinan di negeri ini kian melonjak, meningkatnya angka pengangguran membuat para capres harus turun tangan menyelamatkan situasi. Selain para capres, para calon legislatif di pusat, di daerah tingkat I dan II juga melakukan hal sama. Seolah berlomba dengan waktu yang begitu singkat, para caleg mulai memasang kuda-kuda sebagai pertahanan, persiapan menghadapi pertarungan sesama anggota caleg. Bahkan sejauh yang saya amati, baik di media masa, cetak maupun situs-situs tertentu, beberapa caleg sudah mulai menjelek-jelekkan caleg lain. Tujuannya tidak lain, agar para pemilih tidak memilih caleg tersebut dan beralih memilihnya.
Kemudian muncul pertanyaan klasik, sebenarnya yang dicari para politikus negeri ini apa? Kekuasaan, kekayaan, wanita, pujian, prestasi atau pengabdian bertanggung jawab. Untuk menjawab pertanyaan klasik tersebut memang susah. Ada banyak alternatif jawabannya. Artinya tergantung dari masing-masing orang. Jika kita melihat masa lalu, ada banyak pelajaran yang dipetik dari para politikus negeri ini. Selama masa kampanye, para politikus berlomba-lomba mengambil hati rakyat. Mereka menjanjikan ini dan itu. Sehingga rakyat sering terperangkap, dan jatuh pada euforia yang mereka janjikan. Pemilu tahun 2004 lalu memberi pelajaran untuk kita. Sebelum pemilu para capres ataupun caleg pusat, daerah tingkat I dan II selalu berbicara yang manis-manis dihadapan rakyat. Mereka menjanjikan kesejahteraan, pemberantasan korupsi, layanan kesehatan yang baik, maupun biaya pendidikan yang terjangkau. Ternyata apa kata pepatah yang berkata: habis sepah dibuang benar juga. Kekuasaan, kekayaan, pujian sudah dalam genggaman berarti lepas dengan masyarakat. Tidak terikat lagi dengan janji-janji yang pernah dijanjikan kepada rakyat. Tragisnya, selain tidak pernah perkunjung ke daerah yang diwakilinya, ternyata banyak diantara mereka juga tersandung berbagai macam kasus yang memalukan. Mulai dari kasus korupsi, kasus pesta seks anggota dewan sampai kasus pemerasan. Dimanakah etika para politikus negeri ini?
Saya sendiri tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Masalahnya sangat kompleks, beragam. Ini bukan hanya masalah pendidikan tetapi menyangkut ranah mentalitas. Di negeri ini tidak sedikit pejabat yang pendidikannya rata-rata Doktor, mendapat gelar Profesor. Tetapi ketika sudah di puncak kekuasaan, tingkah laku mereka cenderung kekanak-kanakan. Nasibnya berakhir di bui karena terlibat kasus korupsi, atau pemerasan. Karena itu, pernyataan Bapak Prof. Dr. Budiono Husumohamijodjo, SH Guru Besar di Fakultas Filsafat Unpar yang mengatakan bahwa it`s not only problem of education, but it`s problem of mentality menjadi bahan refleksi bersama. Kita tidak perlu berbicara masalah pendidikan. Penyakit para pemegang kekuasan di negeri ini adalah penyakit mentalitas. Singkatnya, mentalitas pemalas, perampok, dan sejenisnya harus diubah. Bila tidak, maka negeri ini hanya jalan di tempat.
Selain masalah mentalitas, menjelang pemilu 2009 kita dihadapkan pada berbagai isu-isu menyangkut para capres, maupun politik keluarga yang semakin masif. Masalah pelanggaran hak asasi manusia tahun 1997/1998, dan penghilangan orang secara paksa di masa lampau diungkit kembali oleh DPR. Masalahnya adalah Wiranto, Sutiyoso, Prabowo Subianto, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dikait-kaitkan dengan masalah tersebut. Padahal para Jenderal Purnawirawan tersebut juga maju sebagai capres pada pemilu 2009. Pertanyaan pun muncul terhadap langkah yang diambil oleh anggota dewan. Para pengamat politik menilai langkah yang diambil anggota dewan syarat muatan politis, mengingat pemilu sudah di depan mata. Itu berarti anggota dewan mengambil keuntungan di air keruh sehingga melemahkan popularitas para mantan Jenderal tersebut, komentar salah seorang pengamat politik.
Di sisi lain, menjelang pemilu 2009, politik keluarga kian marak. Bahkan lebih mengkhawatirkan dibandingkan pemilu 2004 lalu. Menurut Direktur Eksekutif Charta Politica Bima Arya Sugiaro penyebab kian maraknya politik keluarga pada pemilu 2009 mendatang. Pertama, sejumlah politisi senior harus mundur. Akan tetapi mereka memilih keluarganya untuk menjadi penerus di Partai karena kaderisasi di Partai sangat lemah. Artinya dari pada menyerahkan kursi kepada orang lain lebih baik kepada keluarga. Kedua, politik keluarga semakin mengarah ke dinasti. Itu terjadi karena sistem pemilu dan persaingan yang ketat dan liberal. Banyak masyarakat menilainya pun wajar-wajar saja mengingat figur-figur lama, dan penggantinya sangat dibutuhkan di Parpol, misalnya mantan Presiden Megawati dengan suaminya Taufik Kiemas, Puan Maharani, dan saudara-saudaranya yang lain. Dalam penilaian masyarakat figur mereka sangat dibutuhkan untuk mendongkrak suara pemilih partai pada pemilu 2009.
Masalahnya adalah politik keluarga sangat tidak baik dalam kehidupan politik. Bahkan bisa mematikan kader-kader partai yang berkualitas, tetapi disingkirkan demi keluarga besar. Hal ini tidak mengutungkan dalam kehidupan partai. Terlebih-lebih dalam rangka pendidikan politik warga negara.
Karena itu, masyarakat diajak untuk berperan aktif dalam perpolitikan nasional terutama menjelang pemilu 2009. Masyarakat diajak untuk memilih calon pemimpin berkualitas, berwibawa, responsif terhadap kepentingan rakyat, dan punya kepedulian akan kemajuan bangsa dan negera. Janganlah memilih calon pemimpin yang bermental pemalas, dan perampok. Pilihlah calon pemimpin yang responsible, punya sense of belonging terhadap bangsa dan negara ini. Bila salah memilih berarti masyarakat terlalu banyak membuang-buang waktu. Dan negara ini akan semakin tertinggal dari negara-negara tetangga.
Marinus Waruwu, Pengamat Politik dari Parahyangan Catholic University, Philoshophy. Aktif menulis di berbagai Majalah lokal, Nasional. Peneliti di Remaja Masyarakat.