An Education In Posmodernism Era
Posted by niasbaru on October 8, 2010
Marinus Waruwu
Revolusi pemikiran
Revolusi pemikiran yang terjadi dari jaman ke jaman tak terhindarkan. Perubahan paling signifikan adalah menyangkut perubahan pola pikir dalam ranah filsafat, seni, kebudayaan, dan sebagainya. Tentu saja perubahan ini memiliki efek penting terutama dalam pola pikir manusia di setiap jamannya. Misalnya dalam ranah filsafat. Pemikiran filsafat terutama dimotori oleh filsuf-filsuf kondang Yunani seperti Sokrates, Plato, Aristoteles, dan sebagainya. Merekalah peletak dasar peradaban dunia modern. Kemudian berkembang di jaman patrististik (St. Agustinus, dan lain-lain), jaman skolastikat (St. Thomas Aquinas, dan lain-lain), jaman renaissance, jaman pencerahan, jaman modern terutama dalam diri Rene Descartes, dan terakhir adalah jaman posmodernisme.
Kini kita hidup di jaman posmodernisme. Kita tidak merasakan perubahan pola pikir ini. Seolah-olah bahwa kita masih hidup dalam era pemikiran modern. Padahal tidak! Kita sudah beralih ke era posmodernisme. Sebuah aliran besar pasca modernitas. Sayang bahwa kaum awam memang kurang menyadari tentang hal ini. Memang untuk dunia akademik terutama yang berafiliasi dengan pemikiran-pemikiran filsafat bukan hal asing perubahan pola pikir ini bagi mereka.
Posmodernisme merupakan counter terhadap modernisme. Pemikiran-pemikiran modern diwarnai oleh adanya kebenaran mutlak, yakni pandangan subjek dan objek yang sangat kental, manusia cenderung dijadikan sebagai objek terutama mesin, sains adalah kebenaran tertinggi, materialisme sebagai alternative hidup, militerisme, tribalisme yakni mentalitas yang mengunggulkan suku. Ideologi kemoderenan ini dicounter oleh posmodernisme dengan memunculkan berbagai gagasan-gagasan baru yakni kembalinya pemikiran mistik atau pemikirian pra-modern (F. Capra), dekonstruksi, yakni membongkar segala unsur penting dalam dunia seperti pandangan tentang self, God, meaning, dan world ect, (Derrida, Foucault, Lyortard), adanya gambaran dunia yang sangat pluralistik, dan mungkin ini juga terpengaruh terhadap berbagai norma hidup manusia. Karena itu, pentinglah sebuah dialog baru bagi kaum posmo (I. Bambang Sugiharto: 1996)
Pengaruhnya dalam dunia pendidikan
Lalu apa pengaruh pemikiran posmodernisme tersebut terhadap dunia pendidikan serta pengaruhnya terhadap cara seorang pendidik dalam mendidik para siswa, mahasiswa, dan sebagainya?
Pengaruh posmodernisme dalam dunia pendidikan dewasa ini tampak dalam cara pandang perilaku para pelaku pendidikan. Pelaku pendidikan yang dimaksud adalah para pendidik atau guru dan para siswa atau mahasiswa.
Sikap dan perilaku posmo para siswa dan para pendidik dapat kita lihat dalam beberapa hal berikut.
Pertama, ketiadaan kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adalah relatif. Misalnya, aturan sekolah yang berbunyi bahwa “sebelum dimulainya proses belajar, setiap siswa diharuskan untuk berdoa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing”. Masalahnya, seringkali aturan seperti ini kurang terealisasikan dalam hidup praksis para siswa. Ketika diberi waktu untuk berdoa justru dimanfaatkan untuk bermain-main, ketawa-ketawa, dan sebagainya. Penyebab dari sikap demikian tak lain karena para siswa tidak memiliki kebenaran mutlak, misalnya ajaran-ajaran agama yang menjadi pedoman dalam hidup. Bagi mereka, hidup beragama adalah urusan masing-masing orang. Orang lain, misalnya guru tidak bisa memaksa saya untuk berdoa dan mengikuti kebenaran atau ajaran agama yang diyakininya
Kedua, menolak cara-cara militerisme. Di jaman dahulu, ketika seorang guru menampar seorang murid karena melakukan kesalahan, tidaklah bermasalah. Malah itu dianggap lumrah, mulia. Tujuannya tak lain untuk membangun kedisplinan dan kesadaran seorang siswa. Masalahnya, tindakan guru tersebut tidak mendidik dan tentu saja berpengaruh terhadap psikologis siswa tersebut di kemudian hari. Ini adalah sebuah kekerasan. Tidak mendidik. Tidak mendidik karena guru hanya menegakkan kebenarannya sendiri, misalnya aturan sekolah tanpa melakukan pendekatan yang lebih humanis terhadap peserta didik. Maka, tindakan ini pun sangat ditolak oleh para peserta didik posmo.
Peserta didik posmo tidak menginginkan seorang pendidik yang galak, suka marah-marah, sensitif, melakukan kekerasan terhadap peserta didik baik fisik maupun psikis. Pendidik yang dinginkan para peserta didik posmo adalah seorang yang ramah, menjunjung tinggi sopan santun, tidak galak, tidak cepat main tangan seperti cara-cara militer, dan dekat dengan peserta didik.
Ketiga, dialog konstruktif. Dialog konstruktif antara pendidik dan peserta didik sangatlah penting. Namun hal ini hanya bisa terwujud jika pendidik mempunyai inisiatif untuk menciptakan situasi “dialog konstruktif” antara peserta didik atau antara pendidik dan peserta didik di kelas. Misalnya membahas sebuah masalah beserta pemecahannya dalam diskusi-diskusi kelompok. Saya mengalami hal serupa ketika mengajar di salah satu sekolah favorit di kota Bandung. Bahwa sebagian besar peserta didik sangat tidak menginginkan jika hanya para guru yang aktif di kelas. Sebaliknya, mereka juga ingin diskusi atau tukar pikiran dengan teman-teman lainnya.
Keempat, komunikasi. Komunikasi sangatlah penting. Jika tidak pernah terjadi komunikasi antara seorang pendidik dan peserta didik, maka hal itu akan menyebabkan rasa saling curiga, rasa tidak percaya di antara kedua belah pihak. Guru atau pendidik pada dasarnya harus membangun komunikasi yang sehat dengan para siswanya. Misalnya, menyapa, mengajak diskusi. Dan memang para siswa tidak ingin jika mereka memiliki guru atau pendidik yang bersikap cuek, tak tahu menahu. Mereka ingin seorang pendidik yang komunikatif. Sikap komunikatif seorang guru akan membuat dia dihargai oleh para peserta didiknya.
Singkatnya, kendati sebagian besar dari kita belum menyadari bahwa kita telah berada di era posmodernisme, namun sikap dan perilaku kita berciri, dan bercorak perilaku posmo. Sikap dan perilaku demikian tampak dalam berbagai tuntutan-tuntutan hidup dalam dunia pendidikan dewasa ini. Misalnya, bagaimana menjadi seorang “pendidik yang ideal” di mata para peserta didik dan masyarakat, dan sebagainya. Keempat hal tersebut di atas merupakan pengaruh langsung pemikiran-pemikiran posmodernisme dalam dunia pendidikan. Maka, kita seharusnya bangga jika disebut sebagai pendidik posmo dan peserta didik posmo. Karena di dalamnya keterbukaan, demokrasi, kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin. Itulah ciri-ciri manusia-manusia posmo jaman kiwari. Semoga!
Penulis, Penikmat buku-buku politik, agama, filsafat, pendidikan, dsb, menghabiskan masa kecil di Nias, masa remaja di Bandung dan dewasa di kota yang sama, menjadi kakek-kakek di kota yang berbeda….
Leave a comment