Marinus W.
Saya menyesal. Hanya obrolan basa-basi justru menjalar ke budaya, ke adat-istiadat-ku yang selama ini telah membentuk pola pikir, dan bahkan cara saya bertindak. Obrolan warung kopi, dosen saya berkebangsaan belanda beberapa waktu lalu dengan logat belanda (south ducth area) mengajukan beberapa pertanyaan yang menggelitik, menarik, dan juga sempat membuat saya sakit hati karenanya. Pertanyaan-pertanyaannya menarik, bukan karena ia seorang yang masih berpikiran tradisionil. Sebaliknya ingin sekali melakukan perubahan yang mendasar terhadap berbagai budaya yang masih primitif di negeri kita tercinta ini. Lalu saya sempat sakit hati oleh karena pertanyaannya yang menyinggung budaya, identitas saya, yang tidak lain adalah tempat saya dibentuk, dibesarkan. Pertanyaannya begini: kenapa kaum lelaki nias lebih percaya diri ketimbang kaum wanitanya? Ia memberi beberapa contoh, yang bagi saya sendiri masuk akal, dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya: di pemerintahan. Banyak orang nias yang telah berhasil, menduduki tempat-tempat strategis, ada yang berkedudukan sebagai duta besar, guru besar, pemimpin perusahaan, manager, kepala daerah, hingga departemen dalam dan luar negeri. Namun wanita nias yang bekerja di bidang-bidang strategis tersebut dapat dihitung dengan jari. Atau dapat dilihat dengan presentase yaitu 80%:20%. Read the rest of this entry »