Menilik Potensi Tanah Kelahiran
Posted by niasbaru on August 9, 2009
Marinus W.
“Tanö Niha menyimpan sejuta potensi, namun terbengkalai”, begitulah sekilas tentang tanah kelahiran-ku.
Pada tanggal 9 Juli 2009 lalu, oleh pimpinan diberi kesempatan untuk cuti ke Pulau Nias, kampung halaman-ku. Lama cuti ke Nias hanya sekitar 2 (minggu) hingga tanggal 24 Juli 2009. Setelah itu, saya sudah harus pulang lagi di study home, Bandung. Teman-teman mahasiswa asal Nias pun menganjurkan saya untuk membuat agenda kecil selama cuti di tanah pusaka itu.
Yang menarik bahwa dalam benak saya sempat terlintas sejuta pertanyaan-pertanyaan kecil tentang Nias. Bahwasanya benarkah Nias memiliki segudang potensi untuk berkembang dan maju? Mengapa potensi-potensi itu menjadi terbengkalai dan justru tidak dimanfaatkan demi pembangunan masyarakat Nias terutama secara ekonomi, dan juga kebudayaan? Maklum pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena sudah lebih 7 (tujuh) tahun di negeri orang, sehingga kondisi real tentang Nias terutama perkembangan ekonomi, keterbukaan kebudayaan, dan juga situasi pendidikan serta kesehatan yang masih kabur dalam bayangan saya. sebab itu untuk membuktikan “kebenaran” tersebut, saya akhirnya berjanji bahwa masa cuti ini saya akan manfaatkan untuk melihat berbagai potensi-potensi yang dimiliki oleh Pulau Nias, yang sebenarnya mampu membawa manusia-manusia tano niha berkembang ke arah yang lebih baik.
Setelah sampai di Nias, saya pun menempatkan diri untuk melihat berbagai potensi itu, yang selama ini tidak begitu disadari oleh masyarakat Nias. Dan kendati pun disadari oleh pemerintah daerah di sana, namun biasanya masih acuh tak acuh terhadap berbagai potensi terbaik yang sungguh dimiliki oleh Nias.
Salah satu potensi yang luar biasa yang dimiliki itu adalah dalam bidang pariwisata. Di Desa Hilisangawöla, kecamatan Ulu Moro`ö. Di Desa Hilisangawola, yang terletak 12 kilometer dari Kecamatan Mandrehe ini, terdapat puluhan patung-patung megalitik. Patung-patung megalitik nan mahakarya ini terdapat di Hili lölö`ana`a. Patung-patung ini disebut Behu. Bentuknya beraneka ragam. Ada yang berbentuk seperti manusia, batu besar yang diukir layaknya tubuh manusia, ada juga batu-batu yang dibuat sebagai tempat pertemuan para tetua adat jaman dulu. Bentuknya pun bulat. Beberapa tahun silam patung-patung ini masih berdiri kokoh kuat, namun setelah diguncang gempa banyak yang posisinya bukan lagi berdiri tetapi tergelatak di tanah. Menurut informasi yang saya dapatkan dari sana, patung-patung megalitik ini dibangun pada jaman kerajaan hili lölö`ana`a jaman dulu. Sayang! Patung-patung megalitik ini benar-benar terbengkalai. Tidak ada yang mengurus. PEMDA NIAS juga masih belum berbuat banyak untuk melestarikan harta karung yang sangat berharga ini. Mungkin karena alasan dana atau alasan-alasan lain yang reasonable.
Di Nias, patung-patung megalitik ini terdapat hampir di semua tempat di Nias. Namun, karena tidak terurus oleh masyarakat dan begitu juga dengan pemerintah di sana, akhirnya terbengkalai. Patung-patung ini pun seolah tidak berguna, seolah tidak mempunyai nilai historis, apalagi ekonomis bagi masyarakat Nias. Jangankan kita berpikir nilai histories, praktisnya nilai ekonomis yang menjadi agenda utama. Bahwa jika pemerintah daerah, dan juga dengan dukungan dari masyarakat, patung-patung megalitik ini sebetulnya dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Dengan itu pun pendapatan pemerintah daerah bisa meningkat, yang pada akhirnya dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Nias. Masalahnya, berbagai potensi ini sungguh tidak disadari oleh pemerintah daerah dan juga para intelektual nias. Memang menyadari! Namun, itu hanya sebatas retorika. Sebatas mimpi! Usaha dan aksi untuk berubah, dan berkembang tidak ada. Seolah terjebak dalam nihilisme belaka. Bahwa segala sesuatu tak memilik makna, dan manfaat untuk kehidupan. Sebab pada akhirnya hanya akan membawa manusia pada kesia-siaan semata. Bukan pada kemajuan, di mana kebahagiaan, kemanusiaan manusia sungguh nyata.
Sungguh luar biasa. Bahwa potensi yang dimiliki oleh alam Nias sangat kaya. Di sana-sini terdapat rumah adat, keindahan kebudayaannya, dengan patung-patung magalitiknya. Namun betapa menyedihkan bila kekayaan tersebut hanya sebatas kekayaan alam yang sungguh tidak dimaknai untuk kehidupan kini, di sini, untuk kebaikan, kemajuan ono niha. Seharusnya potensi berharga tersebut menjadi batu loncatan bagi pemerintah daerah nias bersama dengan seluruh element masyarakat dalam menggapai impian.
Saya berpimpi suatu ketika nias akan keluar dari pengaruh filsafat nihilisme, di mana selalu ragu akan keindahan mimpi-mimpi itu, karena yakin bahwa kemajuan hanyalah sebatas kemajuan, dan kebahagiaan atau kemakmuran hanyalah sebatas keduanya, karena itu manusia tak perlu menggapainya, sebab manusia selalu identik dengan penderitaan. Singkatnya, manusia hidup dalam penderitaan. Masalahnya, keyakinan filsafat nihilisme ini tidak laku di jaman kini. Di jaman kini manusia justru berlomba-lomba untuk mencapai kemanusiaannya (humanisme), yang mana di dalamnya pemikiran optismisme dalam memaknai kehidupan (sense of meaning), sense of others selalu mewarnai gerak langkah hidup manusia. Singkatnya bahwa pemikiran optimisme mengarahkan manusia pada keindahan mimpi-mimpi mereka demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Mungkinkah kita ono niha mampu mewujudkannya? Semoga!
Leave a comment