NIAS BARU

Nias Bangkit, Nias Berjuang, Nias Bertindak, Nias Sejahtera!

  • February 2011
    M T W T F S S
     123456
    78910111213
    14151617181920
    21222324252627
    28  
  • Ya’ahowu Banuada

    Salam dari saya, Marinus Waruwu. Weblog "Nias Baru: Ya`ahowu Tano Niha" ini kita jadikan wahana bertukar pikir serta mengerti lebih dalam "berita aktualita Nias". Partisipasi masyarakat Nias sangat diharapkan. Ya'ahowu. Nias berjuang, Nias Nias bertindak, Nias Sejahtera, Nias maju. Semoga!
  • Pages

  • Marinus W. : Abad-21, Kematian Modernitas dan Kebangkitan Agama-agama

    Abad-21 identik dengan bangkitnya agama-agama. Kebangkitan Agama-agama bukan dikarenakan modernitas tidak mampu lagi menjawab segala tuntutan hidup manusia. tapi karena modernitas tidak menyentuh inner/hati manusia yang bersifat rohani yang merupakan inti dari kemanusiaan itu sendiri. artinya modernitas hanya terbatas pada materi, kenikamatan hidup, sementara bagian dalam manusia tidak tersentuh sehingga manusia mengalami kekosongan rohani. akibatnya, hidup manusia selalu identik dengan kegelisahan, kekacauan, dan rasa ketidakbermaknaan hidup. mungkin saja karena modernitas hanya bergulat dengan sisi luarnya saja. artinya yang fisikal semata. sedangkan inti dalamnya terabaikan. akibatnya, Agama adalah pelabuhan terakhir hidup manusia. sebab sisi dalam hidup manusia, hanya agama yang bisa memasukinya. sayang, kebangkitan agama-agama bagai pisau bermata dua. di satu sisi, agama dapat mengkonstruksi kembali hidup manusia yang sudah hancur karena kegelisahan. di sisi lain, agama justru menjadi sebab terjadinya krisis sosial akhir-akhir ini. triumfalisme atau rasa benar sendiri agama-agama tertentu mengakibatkan munculnya fundamentalime yang berujung pada kekerasan, penganiayaan, kefanatikkan, rasa saling curiga dan saling tidak percaya antar komunitas sosial. dan ujungnya juga adalah kekerasan terhadap kemanusiaan. lalu setelah modernitas dan agama ternyata sama-sama penyebab krisis dalam hidup manusia, kemanakah nantinya manusia berlabuh. adakah paham selain itu, apakah ateis.
  • Nias bangkit, Nias berjuang, Nias sejahtera, Nias sejahtera!

    Bukanlah slogan kosong untuk masyarakat nias. Tapi slogan nias bangkit, berjuang, bertindak, sejahtera adalah slogan yang punya makna. makna apa? makna kebangkitan masyarakat nias dari ketertinggalan dan keterpurukannya terutama dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan segala bidang lainnya. Caranya adalah melalui modernisasi pendidikan. Pendidikan adalah salah satu cara terbaik untuk membawa nias ke arah kemajuan. Bila masyarakat punya pola pikir maju dan punya visi dan misi ke depan bukan tidak mungkin masyarakat kita nias dalam 10 tahun ke depan akan sejajar dengan daerah-daerah lain yang telah mencicipi kemajuan.
  • Asking Pardon and Forgiving Offenses:

    You should either avoid quarrels altogether or else put an end to them as quickly as possible; otherwise, anger may grow into hatred, making a plant out of a splinter, and turn the soul into a murderer. For so you read: “ Everyone who hates his brother is a murderer “ (I Yoh 3:15) Whoever has injured another by open insult, or by abusive or oven incriminating language, must remember to repair the injury as quickly as possible by an apology, and he who suffered the injury must also forgive, without further wrangling. But if they have offended one another, they must forgive one another`s trespasses for the sake of your prayers which should be recited with greater sincerity each time you repeat them. Although a brother is often tempted to anger, yet prompt to ask pardon from one he admits to having offended, such a one is better than another who, though less given to anger, finds it too hard to ask forgiveness. But a brother who is never willing to ask pardon, or does not do so from his heart, has no reason to be in the community, even if he is not expelled. You must then avoid being too harsh in your words, and should they escape your lips, let those same lips not be ashamed to heal the wounds they have caused. Thank You!
  • Tulisan Teratas

  • Meta

Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?

Posted by niasbaru on February 23, 2011

Pengantar
Böwö adalah sebutan mahar dalam sistem adat perkawinan di Nias. Tetapi Böwö ini telah melahirkan problem baru yang tidak selalu disadari oleh masyarakat Nias sendiri. Keganjilan penerapan Böwö ini juga dirasakan oleh mereka yang pernah tinggal (berkunjung) di Pulau Nias. Dan tidak heran jika kebanyakan orang dari luar Nias yang pernah ke Pulau Nias selalu memiliki kesan: mahar, jujuran (böwö, gogoila) perkawinan Nias mahal! Oleh karenanya ketika mereka mau (baca: akan) menikah dengan gadis Nias ada semacam ketakutan, keengganan, keragu-raguan. Dan, tentu hal ini adalah kesan buruk! Ada apa dengan sistem adat perkawinan Nias? Yang salah “sistemnya” atau “masyarakat Niasnya”?

Arti Böwö

Etimologi böwö adalah hadiah, pemberian yang cuma-cuma. Sama halnya kalau kita memiliki hajatan, entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga, dsb., lalu kita beri fegero kepada tetangga kita (makanan, baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat hajatan itu kita beri juga kepada tetangga kita secara cuma-cuma). Ini adalah aktualisasi kepekaan untuk selalu memperhitungkan orang lain di sekitar kita, juga untuk mempererat persaudaraan. Oleh karenanya tak heran jika masyarakat Nias menyebut orang yang ringan tangan sebagai niha soböwö sibai. Jadi, arti sejati böwö mengandung dimensi aktualisasi kasih sayang orangtua kepada anaknya: bukti perhatian orangtua kepada anaknya!

Lantas kenapa böwö itu kayak dikomersialkan? Indikasi pengomersialan böwö sebenarnya gampang kita lihat. Misalnya, istilah böwö bergeser menjadi gogoila (goi-goila: ketentuan). Malah kata gogoila yang lebih familiar dikalangan tokoh adat Nias saat ini. Untuk mencapai “ketentuan” tentu ditempuh cara “musyawarah”(yang dimediasi oleh siso bahuhuo) dan sepengetahuan saya, dalam musyawah itu terjadi “tawar-menawar” berapa gogoila yang harus dibayar oleh pihak mempelai laki-laki. Jadi, böwö semakin direduksi maknanya: lebih dekat pada konotasi ekonomis (ibarat aktivitas jual-beli) dan bukan pada konotasi budaya. Dan saya percaya, jika pernyataan ini kita lemparkan ke orangtua kita atau ke “orang zaman dahulu”, pasti salah satu jawabannya adalah: da’ana hada Nono Niha (ini adalah adat Nias). Pernyataan semacam itu tentu mengokohkan dimensi statis budaya Nias juga mereduksi nilai-nilai sakral budaya Nias! Padahal seharusnya, budaya itu dinamis sesuai perkembangan zaman. Bahkan dalam pernyataan itu seolah adat yang terpenting dan bukan manusianya. Saudaraku, adat dibuat untuk manusia dan bukan manusia untuk adat. Ariflah menerapkan adat yang tidak membangun. Dulu böwö itu masih masuk akal. Mengapa? Karena sistem perekonomian Nias masih barter. Artinya böwö dihitung berdasarkan jumlah babi dan bukan uang. Sekarang kalau böwö itu di-uangkan, maka akan menjadi beban kehidupan berlapis generasi, karena babi tidak murah (misalnya, seekor babi yang diameternya 8 alisi harganya bisa mencapai Rp 900. 000 – Rp 1 Juta).

Nah, kalau dalam gogoila (böwö) terdapat 25 ekor babi, coba Anda bayangkan berapa juta. Belum lagi beras, dan emas (balaki, firö famokai danga, misalnya). Padahal mencari uang di Nias sangat susah. Mata pencaharian mayoritas masyarakat Nias adalah bersawah/berladang dan menyadap karet (dari pohon havea). Seperti kita tahu bahwa sawah di Nias tidak seperti Di Pulau Jawa yang sawahnya dikelola dengan baik: ada irigasi, lengkap pestisida pembasmi hama padi. Setahu saya, rata-rata sawah di Nias tidak ada irigasi yang dibangun oleh pemerintah atau yang dibangun oleh swasta. Pengairan sawah di Nias cuma mengandalkan hujan! Sedangkan menyadap karet, juga ada masalah. Karet bisa diharapkan menjadi duit jika tidak ada hujan. Coba kita bayangkan jika musim hujan, mau makan apa masyarakat Nias? Singkatnya, mengumpulkan dan mencari uang di Nias yang puluhan juta, bisa bertahun-tahun.

Kebiasaan masyarakat Nias jika pesta perkawinan banyak sekali yang harus di-folaya (dihormati dengan cara memberi babi). Selain itu, babi pun banyak yang harus disembelih dengan berbagai macam fungsional adatnya, misalnya: tiga ekor bawi wangowalu (babi pernikahan), seekor babi khusus untuk fabanuasa (babi yang disembelih untuk dibagikan ke warga kampung dari pihak mempelai perempuan) , seekor untuk kaum ibu-ibu (ö ndra’alawe) yang memberikan nasehat kepada kedua mempelai, seekor untuk solu’i (yang menghantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki), dan masih banyak lagi babi-babi yang disembelih.

Selain yang disembelih, ada juga babi yang dipergunakan untuk “famolaya sitenga bö’ö“. Di sini saya sebut beberapa saja: sekurang-kurangnya seekor untuk “nga’ötö nuwu” (paman dari ibu mempelai perempuan), sekurang-kurangnya seekor sampai tiga ekor untuk “uwu” (paman mempelai perempuan), seekor untuk talifusö sia’a (anak sulung dari keluarga mempelai perempuan), seekor untuk “sirege” (saudara dari orangtua mempelai perempuan), seekor untuk “mbolo’mbolo” (masyakat kampung dari pihak mempelai perempuan, biasanya babi ini di-uang-kan dan uang itu dibagikan kepada masyarakat kampung), seekor untuk ono siakhi (saudara bungsu mempelai perempuan), seekor untuk balö ndela yang diberikan kepada siso bahuhuo, dsb (dan jika pas hari “H” perkawinan, ibu atau ayah atau paman, atau sirege dari pihak saudara perempuan menghadiri pesta perkawinan, maka mereka-mereka ini juga harus difolaya, biasanya seekor hingga tiga ekor babi). Dan masih ada pernik lain, yakni fame’e balaki atau ana’a (ritual memberi berlian atau emas), berupa famokai danga kepada nenek dan ibu mempelai perempuan; juga fame’e laeduru ana’a khö ni’owalu (pemberian cincin kepada mempelai perempuan, cincin itu diharuskan emas). Singkatnya, jika adat itu diterapkan pada zaman sekarang, maka Anda harus menyediakan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah hanya untuk membeli babi dan emas belum lagi biaya pas hari “H” perkawiannya. Kalau kita melihat uraian di atas, böwö itu dibagi-bagi. Dan, kadangkala dalam pembagian semacam ini muncul berbagai macam perseteruan, permasalahan.

Akibat Böwö yang Mahal

a. Akibat Negatif
Ada berbagai macam problem sosial dan juga ekonomi yang disebabkan oleh mahalnya böwö di Nias. Di bawah ini saya akan menguraikan beberapa argumen berdasarkan fakta yang memang saya dengar dan alami (terutama di Kecamatan Mandrehe).

Pertama, akibat negatif dari böwö yang mahal adalah kemiskinan dan pemiskinan. Alasannya boleh dilihat dalam uraian akibat negatif berikutnya.

Kedua, akibat mahalnya böwö, orangtua si anak bukan lagi bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan anaknya, tapi mereka bekerja untuk membayar utangnya, membayar böwö yang dibebankan kepadanya. Bahkan utang böwö yang belum sempat terbayarkan oleh orangtua si anak mesti si anak harus bersedia membayarnya. Mahalnya böwö semakin diperparah sejak masyarakat Nias mengenal uang, karena böwö juga diuangkan. Mempelai laki-laki yang tidak mampu mencukupi nilai böwö yang harus ia bayar, tidak ada pilihan lain baginya selain meminjam. Anda tahu yang namanya pinjaman pasti ada bunganya perbulan. Dan, lingkaran semacam inilah yang menyebabkan banyak keluarga Nias hanya bekerja untuk membayar bunga utangnya.

Ketiga, mungkin kita pernah mendengar cerita Nono Niha yang berani melakukan pembunuhan hanya karena tidak dibayarkan kepadanya böwö yang sudah dijanjikan. Ini adalah akibat sosial yang sangat fatal dari böwö yang mahal. Hanya demi seekor babi atau berapalah itu, ia berani menghabiskan nyawa orang lain dan harus mendekam di penjara. Ini sungguh memilukan sekaligus memalukan.

Keempat, akibat keempat ini masih ada kaitannya dengan akibat kedua di atas tadi. Kerapkali mempelai laki-laki jika menikah, apalagi dari keluarga yang pas-pasan (tidak mampu), terpaksa menjual tanahnya, menjual sawah-ladangnya, bahkan bila kepepet ia juga meminjam sejumlah uang atau menyusun kongsi (kalau di Mandrehe, pas acara femanga ladegö, pihak dari mempelai laki-laki mengajak semua pihak untuk membantunya dan pada saat itu babi mesti disembelih sebagai tanda pemberitahuan kepada orang-orang yang akan menolongnya/yang mau memberikan kongsi). Jangan salah, jika meminjam uang, bunga bukan main bung. Dan, itu tradisi buruk Nias selama ini. Masyarakat Nias seolah melingkarkan tali di lehernya sendiri. Atau seperti seorang yang menggali lobang, ia sendiri yang jatuh ke dalamnya. Coba kita bayangkan, tanah habis dijual, masih ngutang lagi. Lalu di mana keluarga baru ini mengadu nasib, mencari nafkah sehari-hari? Mungkin ada yang masih rendah hati : menjadi kuli kepada orang lain. Dan, hal ini adalah «perbudakan» yang disengaja, yang kita buat sendiri walaupun sebenarnya bisa kita hilangkan, bisa kita atasi dengan tidak menerapkan sistem böwö yang mahal.

Kelima, jika orangtua masih berada dalam lingkaran «utang» sudah bisa dipastikan bahwa para orangtua tidak mungkin bisa menyekolahkan anaknya. Lantas kapan pola pikir Nias bisa ber-evolusi, berkembang, dinamis jika terjadi ke-vakum-an seperti ini, hanya karena böwö yang mahal itu. Melihat penerapan böwö yang tidak menguntungkan itu, sebaiknya para orangtua yang berasal dari Nias (apalagi mereka yang masih menerapkan böwö yang mahal) mesti menyadari apa tugas pokok jika sudah membentuk keluarga. Selain itu, mesti disadari: apa arti böwö yang sebenarnya. Saya rasa ada benarnya jika böwö adalah salah satu faktor utama kemiskinan di Nias secara turun-temurun. Boro-boro si orangtua menyekolahkan anaknya, utang böwönya saja belum lunas. Hal ini menjadi kendala bagi orang Nias sendiri untuk mencetak generasi penerus yang berpendidikan. Dan, jika demikian, jangan kaget jika berapa puluh tahun lagi Nias tidak akan mungkin membenahi kekurangan sumber daya manusianya.

Keenam, apakah Anda bahagia jika memiliki utang ? pasti tidak. Bagaimana suasana hati Anda jika memiliki utang? Pasti tidak tenteram, apalagi kalau setiap minggu, bulan ditagih. Ini suatu ancaman. Jika demikian, orang yang memiliki utang, juga pasti selalu tenggelam dalam kegelapan, bukan lagi kebahagiaan (tenga fa’owua-wua dödö ni rasoira ero ma’ökhö bahiza fa’ogömi-gömi dödö). Ketidak-tenteraman hati seperti ini bisa merembes ke sasaran lain: suami-istri sering bertengkar, suami menyalahkan istrinya yang memang pihak penuntut böwö; orangtua dan anak saling bertengkar, berkelahi; orangtua sering memarahi anaknya. Maka jangan heran jika banyak keluarga di Nias yang “makanan” sehari-harinya adalah “broken home”, perseteruan. Lalu kapan sebuah keluarga mempraktekkan cinta sebagai suami-istri, jika situasinya seperti ini? Marilah kita menjawabnya sendiri-sendiri!

Ketujuh, böwö identik dengan pemberian sejumlah harta benda, sejumlah uang, sejumlah babi yang harus ditanggung oleh pihak mempelai laki-laki. Nah, jika demikian, apa bedanya sistem böwö Nias ini dengan perdagangan perempuan dan perdagangan anak? Menurut saya, jika para orangtua memiliki motif bahwa böwö (gogoila) dijadikan sebagai modalnya, maka pada saat itu mereka termasuk dalam lingkaran perdagangan anak mereka sendiri. Dan hal ini bertentangan dengan hak azasi manusia! Tendensi perdagangan anak dalam system perkawinan Nias sebenarnya sudah mulai kelihatan. Misalnya, mempelai perempuan sering disebut sebagai böli gana’a (pengganti emas). Jadi seolah-olah perempuan itu sama dengan barang!

b. Akibat Positif

Pihak mempelai laki-laki, sebelum hari “H” perkawinan selalu mengumpulkan semua kerabatnya (seperti fadono, sirege, fabanuasa). Tentu dengan tujuan agar mereka-mereka ini bisa menolongnya, bahu-membahu menanggung böwö. Dari sisi ini ada juga beberapa hal positif.

Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan, menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö) dan mendapat rezeki.

Kedua, fadono selalu diingatkan akan kewajibannya. Hal ini bisa jadi menumbuhkan kesadaran akan “tanggung jawab” yang sejati dari para fadono. Dalam sistem adat perkawianan Nias, fasitengabö’ösa, fadonosa atau fambambatösa terjadi selama 3 generasi. Dalam sistem adat Nias (khususnya di Mandrehe) mempelai laki-laki memiliki kewajiban untuk selalau menjadi soko guru (tiang) bagi saudara mempelai perempuan (saudara dari istrinya yang dalam bahasa Nias disebut la’o). Misalnya, jika salah seorang saudara dari mempelai perempuan menikah, si mempelai laki-laki mesti membantunya. Di satu sisi ini baik. Tetapi di sisi lain, hal ini membebankan.

Ketiga, dengan böwö yang mahal, setahu saya para orangtua di Nias tidak mudah cerai (tetapi jangan-jangan karena orang Nias sendiri memang tidak biasa bercerai).

Melihat ambivalensi (negatif dan positif) böwö seperti yang terurai di atas, maka sebanarnya penerapan böwö yang mahal lebih banyak sisi buruknya, sisi negatifnya. Oleh karena itu, di bawah ini saya menguraikan bagaimana “problem solving”-nya.

Problem Solving

Pada bagian terakhir ini, saya juga mencoba mencari solusi yang perlu direfleksikan (baca: diinternalisasikan) oleh semua masyarakat Nias, niha khöda.

Tesis Pertama, lalu bagaimana adat ini, apakah harus tetap diterapkan? Kalau menurut saya secara ritual adat Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, karena ini warisan berharga dari leluhur Nias. Ritual dalam arti: penghormatan kepada paman, kepada saudara, kepada ibu mertua, kepada nenek, kepada penatua adat, dst.. Jadi, dimensi kultik dan etis budaya Nias tidak boleh ditinggalkan begitu saja, malah seharusnya kita dilestarikan.

Namun yang perlu diperhatikan adalah bentuk penghormatan itu bukan dengan material, bukan dengan pemberian babi yang sekarang tergolong mahal di Nias (tetapi jika ada keluarga yang mampu dengan penghormatan secara material, silahkan saja yang penting jangan sampai pemberian itu adalah hasil pinjaman yang justru menjadi utang berlapis generasi). Bentuk penghormatan itu bisa melalui perhatian, menolong kerabat, mertua dikala mengalami situasi yang memang memerlukan bantuan tenaga manusia. Jadi, penghormatan itu lebih pada hal spiritual, afeksional, sosial dan bukan material-ekonomis. Dan, yang harus selalu dilestarikan oleh orang Nias adalah budaya, seperti: maena, tarian (tarian baluse, tari moyo, hoho, dst.), fame’e afo, ni’oköli’ö manu, dst. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini justru tarian maena semakin hari semakin tidak dikenal lagi oleh generasi muda Nias. Padahal, tarian maena adalah salah satu tarian rakyat Nias yang kalau dilestarikan secara benar menjadi ciri khas dan kebanggaan Nias.

Setiap orangtua pasti bahagia jika anaknya menjadi “orang”. Namun, jika para orangtua Nias belum menyadari bahwa böwö itu sangat membebankan maka saya kurang tahu sampai kapan masyarakat Nias akan menyadari bahwa pola pikir semacam itu justru menenggelamkan orang ke lembah kemiskinan. Pengalaman saya sendiri, kadang-kadang böwö itu diperebutkan antara pihak paman, talifuso, dan juga so’ono (dari pihak saudara dan juga orangtua mempelai perempuan). Ironisnya (masih terjadi) babi-babi yang mereka terima itu dijadikan sebagai modal. Ini komersial bung dan apa bedanya dengan “perdagangan anak”? ini bukan melebih-lebihkan, hal ini sungguh terjadi pada zaman dahulu kala (dan mungkin sampai sekarang, walaupun tidak sebanyak dulu).

Tesis kedua, setiap orangtua yang berpendidikan mencoba menjadi pilar untuk mengubah tradisi Nias yang justru membebankan. Mula-mula para orangtua itu mesti melakukan penyuluhan kepada anaknya dan oleh karena itu juga jangan mereka terapkan böwö yang mahal kepada anak mereka sendiri. Tidak selamanya bahwa budaya itu positif dan manusiawi. Misalnya, budaya orang-orang Eskimo yang menyembelih orangtua mereka jika sudah tua. Menurut masyarakat Eskimo, tindakan mereka ini memiliki nilai yang tinggi: mencoba menyelamatkan orangtua mereka dari penyakit tua yang bisa membawa pada penderitaan. Bahkan tindakan itu adalah salah satu bentuk perwujudan penghormatan kepada orangtua. Budaya Mangayau di Kalimantan (tradisi memenggal kepala orang, dan ternyata hal ini terjadi di Nias pada zaman dahulu). Seperti kita tahu bahwa menghilangkan nyawa orang lain, bertentangan dengan hukum kodrat yang dikenal oleh orang Kristen, terutama dalam gagasan Santo Thomas Aquinas: Hukum kodrat adalah pemberian dari surga, anugrah tertinggi dari Allah yang tidak bisa diciptakan oleh manusia. Manusia lahir dan mati, itu adalah hak Allah.

Tesis ketiga, tokoh agama harus terlibat dalam memberikan penyuluhan kepada masyarakat Nias yang masih menerapkan böwö yang mahal. Sebagai orang Nias, saya berterima kasih (juga salut) kepada Pastor Mathias Kuppens, OSC (misionaris Ordo Sanctae Crucis, berkewarganegaraan Belanda), yang cukup antusias untuk memberikan pemahaman kepada orang Nias (terutama di Kecamatan Sirombu dan Mandrehe) bahwa böwö yang mahal tidak membangun. Beliau adalah salah satu tokoh agama Katolik yang cukup berhasil “menekan” jumlah besarnya böwö dengan cara-cara yang persuasif. Namun, perjuangan beliau bukan tanpa hambatan. Ada beberapa orang Nias yang pernah melontarkan kata-kata pedas, mencoba menentang kebijakan Pastor Mathias, sang pencinta Nias itu. Tetapi Pastor Mathias menanggapi dengan tindakan yang diwarnai kerendahan hati: ia tidak pernah berprasangka negatif (tidak su’udzon) walau ia dicerca. Ini luar biasa!

Tesis keempat, Dinas Pendidikan Kabupaten Nias dan Nias Selatan, seharusnya memikirkan bagaimana jika penyuluhan tentang böwö diajarkan di sekolah sebagai pelajaran “muatan lokal” atau semacam pelajaran “ektra kurikuler”. Menurut saya, böwö dan juga adat Nias yang lain perlu dijelaskan kepada generasi muda agar mereka kelak mengerti dampak ambivelensi adat Nias itu sendiri. Dan oleh karena itu, mereka kelak bisa menegasi hal-hal yang tidak membangun dari adat Nias itu sendiri; sehingga budaya Nias tidak mandeg pada ke-statis-an melainkan berkembang (dinamis). Dan, tugas ini tentu didelegasikan kepada para guru yang mengajar: mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi. (Postinus Gulö)

Semoga!

 

 

 

49 Responses to “Sistem Adat Perkawinan Nias: Salah Satu Penyebab Kemiskinan Masyarakat Nias?”

  1. problem yg sgt berat utk mengubah adat nias karena azas ,dasar,aturan,kebiasaan yg tlah melekat ribuan tahun yg lalu, oleh karena tu saya sgat bersyukur jika ada gagasan dlm memperbaharui sistem adat nias, namun dbalik tu nias adlh masyarakat yg antargonis artinya, hampir menyeluruh memiliki sifat yg kental dgan lingkungan fulgar,tidak brsahabat.
    hanya satu yg ingin saya sayangkan dlm pengenal akan firman TUHAN nias mayoritas kristennisasi,apa yg harus kita lakukan ???? adlh mengkaji lebih dlm lagi apa yg TUHAN ajarkan :
    1.mengenal tujuan tuhan dlm hidup kita
    2.melakukan tujuan tuhan dlm hidup kita ,
    3.menyelesaikan tujuan tuhan dlm hidup kita ,

    • pak sumitro said

      JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT…

      : JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT…

      : JIKA ANDA BUTUH ANGKA RITUAL 2D 3D 4D DI JAMIN 100% JEBOL BILAH BERMINAT HUB KI ANGEN JALLO DI NMR (_0_8_5_2_8_3_7_9_0_4_4_4_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB THA,SK ROO,MX SOBAT…

  2. apuaks said

    Sebagai seorang umönö/la’o bagi masyarakat Nias, saya juga merasakan hal yang sama. Saya melihat hal ini sebagai bentuk kekakuan (statis) dari norma-norma dan ketentuan adat itu sendiri jika sudah dihadapkan pada kenyataan status ekonomi masyarakat yang beragama. Di sisi lain, saat sekarang ini Nias sudah menjadi 1 daerah kepulauan yang dihuni oleh masyarakat majemuk, baik Ras/Suku, Status Ekonomi maupun Agama dan Kepercayaan yang sudah barang tentu membutuhkan peremajaan norma dan perundang-undangan adat yang ada, untuk bisa meng’kop semua itu.
    Nah, permasalahannya sekarang tergantung kepada Bapak-bapak Pemangku Adat, Masyarakat dan Agama serta Dinas Pemerintahan terkait! Mau atau tidak untuk duduk bersama memusyawarahkan niat baik kita ini?
    Insya Allah, kami mendukung untuk itu!
    trimalah salam saya “Ya Ahowu”

  3. fangera dodo s. said

    Saohagolo Umonoma Puaks atau La`oma.

    Niat baik dan pendapat yang diungkapkan oleh Bapak sangat positif untuk kemajuan Pulau Nias ke depan. Sebab dalam tulisan di atas menunjukkan adanya korelasi antara Besarnya Bowo dan kemiskinan di Nias. Lalu sebagai seorang Umono kami mohon kepada Bapak menjelaskan secara spesifik apa niat baik kita jika nantinya kita duduk bersama dengan berbagai instasi terkait di Nias? Apakah mungkin itu terjadi?

  4. fangera dodo s. said

    Bapak Buala:
    Saya tidak begitu mengerti apa sebenarnya maksud dari pernyataan Bapak yang mengatakan: “nias adlh masyarakat yg antargonis artinya, hampir menyeluruh memiliki sifat yg kental dgan lingkungan fulgar,tidak brsahabat” Apakah benar Nias itu termasuk lingkungan fulgar dan tidak bersahabat? Bukannya Nias masih kental dengan adat istiadatnya?

    Kami sebagai awam mohon penjelasan bapak berkaitan dengan hubungan antara kelangsngan kristenisasi di Nias dengan Bowo.

    Atas bantuannya kami haturkan sumuhun.

  5. Bpk fangera:

    YA.AHOWU Bpk ,dlm hal ini saya benar2 sgt berterimakasih dgn adanya pertanyaan yg menyangkut adat istiadat
    Antargonis makcudnya hampir menyeluruh masyarakat maunya menang sendiri,suka usil,meremehkan,
    tdk menerima kritik,
    Sifat yg kental/fulgar,masyarakat hanya mikirin ini GUE bukan loe,jadi tdk ada simpati dan empati
    didalam adat istiadat tdk bisa kita pungkirin masih banyak yg gak sadar jika anak nya menikah
    minta jujuran yg tak kalah saing dengan lelang/lotere tawaran,namun pada akhirnya sampai tua
    masih dililit utang bowo gite,,,,, 1!
    padahal dlm pengajaran KRISTUS,itu sgt dilarang mohon buka ALKITAB
    nah,mari kita bersama2 bekerja sama utk memberi motivasi baik pemerintah ,lembaga pendidikan,ke
    Agama an,ormas,pemuda ikut serta mendorong kaum awam dlm pemikiran yg ter arah sekaligus memper-
    kuat IMAN yg sejati. bukan hanya berkata kata tpi bukti nyata agar adat NIAS bisa diperbhrui

    Mohon ma.af jika tdk sesuai pandangan pembaca>.

  6. fangera dodo s said

    Yth. Pak Buala:

    Saya memulai komentar saya ini dengan sedikit penjelasan tentang Antagonis yng saudara katakan. Dalam pengertiannya, Antagonis diartikan sebagai seseorang yang memiliki ciri2 seorang penjahat, kadang-kadang mungkin binatang, atau hal lainnya yang merupakan konflik dengan protagonis. Antagonis biasanya jahat dan tidak baik serta sering menjadi pembuat onar.
    Bagi orang normal, Penyebutan istilah “Antagonis” bagi orang atau sekelompok orang/ suku/agama sangat tidak wajar, tidak normal. Mengapa? Karena Antagonis dicirikan seperti penjahat, bahkan binatang, atau sering membuat keonaran.

    Masalahnya, Pendapat Bapak Buala yng mengatakan bahwa nias adlh masyarakat yg antargonis artinya, hampir menyeluruh memiliki sifat yg kental dgan lingkungan fulgar,tidak brsahabat, masyarakat maunya menang sendiri,suka usil,meremehkan,
    tdk menerima kritik,” Jika dirunut pada silogisme Aristoteles, maka sudah dipastikan bahwa secara keseluruhan orang Nias beserta budayanya memiliki sifat-sifat seorang penjahat, suka buat onar, suka usil, meremehkan, tidak bersahabat, dll.
    Jika demikian berarti Bapak Buala sebagai orang Niaz sendiri termasuk orang-orang yang memiliki sifat antagonis.
    Hanya saya sendiri sangat menyayangkan mengapa Bapak Buala menyimpulkan jika secara menyeluruh Niaz memiliki sifat Antagonis. Benarkah demikian? Apakah memang di Niaz sudah tidak ada lagi orang-orang protagonis yang memiliki sifat baik, orang-orang berperilaku baik sehingga Bapak menyimpulkan secara menyeluruh Niaz antagonistik.

    Kami sangat mengharapkan penjelasan dari Bapak.
    Bapak Buala sekarang kerja di mana? atau masih kuliah. Jika masih kuliah di mana? ambil jurusan apa?

  7. Marinus W. said

    Yaahowu

    Dear: Sibaya Buala dan Bapak fangera dodo s., dan para intelektual Niaz.

    Tujuan kita membuat website http://www.niasbaru.wordpress.com tak lain adalah untuk saling berdiskusi, saling mengeluarkan ide/gagasan secara konstruktif, dan membangun terutama konteks dialogi budaya, intelektual, politik, kemasyarakatan. Sebab itu, sebagai redaktur Nias Baru sangat mengharapkan terjadinya sebuah diskusi yang membangun/konstruktif/dekonstruktif di antara sesama Ono Niha. Di situs sederhana ini kita berusaha mencari jalan keluar untuk memecahkan berbagai macam persoalan yang sedang dialami oleh masyarakat Nias saat ini. Kami pun sangat mengharapkan solusi dan bukan hujatan/menyerang pribadi orang dalam diskusi, sehingga diskusi selain memberi masukkan positif dan juga menyegarkan jiwa dan raga kita. Semuanya untk kebaikan kita bersama setiap insan intelektual muda Nias.

    Sibaya Buala bersama Bapak Dosen fangera dodo s. sudah memulai. Silahkan berdiskusi secara sehat, dan membangun. Kami akan mengambil hikmah positifnya. Amin.

    Redaktur http://www.niasbaru.wordpress.com
    Bersama Team.
    Yaahowu

  8. buala sokhi lombu said

    YA.AHOWU

    Bpk saya buat pernyataan itu karna saya orang nias dlm arti smua apa yg saya ungkapkan bukan hanya rekayasa
    belaka, dan mohon jgn dijadikan sebagai acuan dlm pengembangan nias baru.
    jika kita sadar nias milik atau kepunyaan kita jgn ada saling melontarkan pendapat,karna disini smua pe-
    mikiran,gagasan,kritik,masukan,pengalaman,fakta,opini,politik,smuanya kita jadikan bahan diskusi yg berbuah
    baik.
    saya mohon kpd siapapun pembaca kiranya memberi saran dan masukkan agar pola pikir kita kedepan maju dlm
    membangun nias yg cinta akan kedamaian.
    jujur saya sgt cinta dgn pulau nias,bahkan dimana pun hatiku utk niasku, maka saya siap utk dikritik utk
    perubahan.
    Bpk fangera, sekali lagi saya mohon ma.af
    saya hanya seorang marketting,seorang yg sederhana,aktif dlm jejari sosial masyarakat dan keseharian saya
    slalu dimbimbing JESUS, saya juga msh kuliah di fakultas ekonomi \saya mohon doa bpk biar diberkati tuhan
    sbliknya bpk saya slalu doakan agar tetap sehat dan semakin dipakai oleh TUHAN
    MOTTO ; TAKUT AKAN TUHAN PERMULAAN PENGETAHUAN” DAN KARISMATIK”

  9. famatihia said

    saya setuju….apa yang kalian diskusikan,dan juga saya berharap suatu saat nanti Nias semakin maju asal jangan mundur. Dan soal adat Nias saya rasa itu masalah besar yang menyebabkan orang nias tidak lepas dari belenggu kemiskinan. Ini sebuah masalah yang harus dipecahkan karena masalah tersebut merembes kemana-mana.
    Nias adalah bagaikan tubuh yang utuh dan tegak…tapi jika salah satu tubuhnya sakit pasti seluruh tubunya merasakan penderitaan itu, begitu juga adat kita yang begitu besar sehingga orang mau tidak mau harus beruatang kepada yang lain.
    Sekarang kita harus mengikisnya perlahan-lahan agar tidak semakin bertambah parah. Memang tidak mudah tapi kita harus berusaha kalau bukan kiata siapa lagi.

  10. Feber Gulo said

    Sebuah tulisan yg sgt menarik dan perlu menjadi perhatian kita bersama, seluruh komponen masyarakat Nias. Namun ada beberapa hal yang mungkin perlu kita pahami bahwa ssat ini sesungguhnya sdh byk masyarakat Nias yg di dlm melaksanakan adat perkawinan tidak lagi berpatok kepada bõwõ sebua. Di beberapa tempat saya lihat, bõwõ sebua tinggal hanya sebagai simbol belaka, namun tidak meninggalkan tatanan adat yg sdh berlaku. Terlebih-lebih di daerah perantauan, dari sekian byk perkawinan ono niha yg saya ikuti, biaya yg harus dikeluarkan oleh pihak mempelai pria sebagai mahar umumnya tidak lebih dari Rp 15 jt. Dan itu cenderung digunakan utk biaya pesta sehari. Sedangkan sinema sibaya, sinema mbanua dll, umumnya cukup sekedar apa adanya sebagai syaratnya. Bagi sy hal ini adalah suatu kemajuan. Hal ini bisa terjadi karena sebagian dari masyarakat Nias sdh menyadari betapa menderitanya hidup akibat bõwõ sebua. Kata 100 ekor babi saat ini sy rasa tinggal suatu istilah. Setidaknya ini yg saya rasakan di daerah saya di perantauan, bahkan di kampung halaman.

    Saya memang tidak tahu, apakah masih ada daerah di Nias yg menerapkan mahar tinggi dalam perkawinan. Kalau masih ada semoga cepat mendapat pembaharuan. Jadi sesungguhnya sudah bukan saatnya lagi perkawinan menjadi alasan munculnya kemiskinan di daerah kita tercinta. kalau saya boleh memberi suatu pendapat, kemiskinan di Nias lebih cenderung disebabkan oleh kurangnya kreatifitas di diri kita. Kita kurang mampu memanfaatkan apa yg ada disekitar kita.

    Ya’ahowu,
    GBU

  11. wawan laoli said

    Adat itlah yang harus dilepaskan oleh masyarakat NIAS.Selagi masih mempertahankannya,maka selama itu pula belenggu kemiskinan akan mengikat pihak2 yang terlibat dalamnya.Adat adlah tradisi nenek moyang yang dilakukan sejakn dahulu sebelum ada agama di Nias.Tradisi/adat yang merupakan akar dari penyembahan berhala(setan) dan kesombongan…

    Saudara semua yang memutuskan apakah anda mau keluar dari lingkaran ga ada ujungnya..
    Gbu all

  12. Yanu Zega said

    Ya,ahowu.
    Adat Nias itu bagus dan perlu dilestarikan. saya sendiri nanti kalau menikah, pasti kurang sempurna rasanya kalau tidak pakai adat Nias. Hanya memang sangat perlu “diturunkan” standart harga materinya. Misalnya, sinema untuk zibaya yang seharusnya 5 juta, dirutunkanlah menjadi 500 ribu, begitu seterusnya untuk aspek yg lain.sehingga biaya pesta yg biasanya sekarang lebih dari 50 jutaan bisa turun jadi 15-20 juta aja.

    hanya saja ada kebiasaan adat Nias dengan istilah yang saya tau “lasuloni” maksudnya kalau dulu waktu anak abang saya menikah saya terima 1 juta nah sekarang kalau anak saya menikah harus juga saya kasih ke abang saya 1 juta, sementara kalau dikurangi misalnya saya hanya kasih dia 100 ribu, jelas ini menjadi akar permusuhan. Itu makanya di Nias Falowa sering menjadi ajang perkelahian, yang akar penyebabnya adalah “adat” atau misalnya “ambo sinemania”

    solusi lain menurut saya, keluarga perempuan perlu mengerti dan mau membantu anaknya dengan “cara tidak langsung” contohnya: jujuran diminta 15 juta semuanya, lalu kekurangannya nanti ditanggung oleh pihak perempuan. saya juga melihat beberapa orang tua perempuan di Nias saat anaknya menikah, dia keruarin uang yang dari satunya untuk menutupi pengeluaran bila kurang. orang tua begini, menyayangi anaknya.

    telah banyak rekaman lagu bertema “turunkan standartadat Nias” namun masih sedikit orang yang mengamplikasikannya. sayang lagu itu asal sudah didengar. menurut pandangan saya kita mulai dari diri sendiri-turunkan bowo jika kita melaksanakan pernikahan.

    melihat pendapatan masyarakat di pedesaan pulau Nias yang rata-rata sekitar Rp.1.000.000 s.d. Rp 1.500.000/bulan atau 3-5KG “gito” perhari, saya usulkan bowo di pulau Nias standartnya 15-20 juta (pengeluaran keseluruhan). sehingga nanti, 2 tahun setelah pernikahannya dia bisa bangun rumah sederhana, kemudian punya biaya yang cukup untuk biaya sekolah, bukan melarikan diri “merantau” demi “wamu’a fo’omo wangowalu”. data di desa saya yang saya tahu, kira-kira 20-30% merantau “untuk membayar utang”. apakah saya menyusul???

  13. Phutry said

    Ya iyalah mereka jrng sekali bercerai lah wong kalau mau kawin lg jg blm tentu ada biaya apalagi hutang nikah yg kmrn jg blm tentu sdh lunas.

  14. yarman lase said

    terima kasih atas ruang yang telah di beri untuk berbagi saran di situs ini.
    Ya’ahowu.
    Langsung saja,hal adat nikah di nias jangan di hilangkan semua harus ada goi goi itu tetapi hal biaya yang di kurangkan(sekarangkan sudah di alihkan ke harga uang) contohnya fonda’u danga nina kalau dahulunya rp 500000 alangkah baiknya di kurangkan jadi rp 50000.kan ada enteng.jadi adat tidak hilang dan biaya berkurang.tapi kalau juga tidak mau saya sarankan kepada pemuda nias yang tidak mau di belenggung oleh utang nikah carilah gadis di luar daerah untuk di nikahi biar gadis gadis kita di nias jadi sangobou silôtô.

  15. saronia said

    adat Nias harus kita tetap lestarikan,hanya saja nilai materinya yang harus di tekan seminim mungkin/sesuai dengan kemampuan,jangan memaksakan diri dan masyarakat dalam komunitas tersebut harus sepakat akan perubahan.
    Kalau tidak mampu umpamanya ya tolong di maklumi dan jangan menjadi bahan pembicaraan dan malah di kucilkan.
    kita harus memahami bahwa adat perkawinan di Nias memang sangat mahal,lebih baik biaya sebesar itu di jadikan lebih berguna seperti modal usaha dll.
    Saya sangat bangga menjadi bagian dari masyarakat ONO NIHA karna budayanya yang sangat khas dan unik,semoga ONO NIHA menjadi bagian dari masyarakat yang maju dalam bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan.Saoha golo

  16. F. Daeli STLB said

    semua orang berbicara tentang besar biaya adat Nias dalam perkawinan, katanya membawa kemiskinan karena begitu besar biaya atau jujuran adat perkawinan. Pertanyaan kita apakah adat perkawinan di Nias sudah berkurang ? Jawabannya masih belum, berarti kemiskinan tetap terjadi, mengapa ? karena orang-orang Nias yang ada diperantau sudah tidak peduli lagi keberadaan Nias disana. Oleh sebab itu jangan hanya ngomong doang apa lagi diributin, berpikirlah bagai mana dan bagaimana mengurangi kemiskinan yang katanya disebabkan karena besar adat perkawinan, saya mengingatkan kembali kepada kita semua bahwa IKUTILAH GAGASAN DI Nias Barat khususnya di Kecamatan Lahomi yang sejak 10 tahun lalu biaya atau jumlah adat istiadat perkawinan Nono Niha sudah di rubah total, sehingga ABG-ABG saat ini pada laku semua. Kalo mau merubah hal tersebut diatas tentang, maka saya sarankan banyaklah belajar dan kami siap untuk memberi pengarahan dan teknis secara bertahap tanpa bayar, karena merubah adat itu tidak gampang talifuso.Berbicara tentang Budaya atau Seni dan Budaya Ono Niha, semua pada sok tau….dan selalu diributi trus… pada hal Seni dan Budaya Ono Niha sekarang ini sudah hampir PUNAH, pertanyaan saya, apakah ada yang ingat dan masih tidak lupa apa itu Seni Budaya Nias?, pada hal Seni Budaya Nias itulah yang sebenarnya akan membawa Nias lebih makmur dan sejahtera bila ada yang mau menggali kembali, contoh..kenapa Bali itu Kaya? adalah awalnya karena Seni Budaya yang dipelihara dan dilestarikan baik dalam maupun luar negeri membuat ketertarikan dan niat para infestor untuk membangun Bali. Pertanyaan saya kita generasi sekarang ada yang mau melakukannya ?. Maaf setelah anda baca pesan ini silahkan datang ke Taman Mini Indionesia Indah Jakarta yang saat ini sedang digali kembali Seni Budaya Pulau Nias yang dilatih oleh Bapak Fatizaro Daeli alias Ama Tofer yang peserta penari Baluse sekitar 50an orang dan yang sudah lolos Lompat Batu ada 8 orang, bergabunglahhhh…. untuk membawa Ono Niha lebih sejahtera seperti di daerah Bali, karena kalo tidak ada nilai jual di Nias maka jangan harapkan infestor atau Bule=Bule datang membangun, karena Pemerintah tidak sanggup alias sibuk ngurusin dirinya sendiri, apakah mau kita bangun Nias supaya lebih mandiri dalam segala bidang ?, kami adalah ahlinya, caranya bagaimana ? kita lanjut berikutnya.
    saohagolo.

  17. yarni war said

    adat pernihan dlm pulau nias adalah mengakibatkan kemiskinan, para mempelai, pernihan adalah suatu kebahagaian, dan kecocokan antara pria dan wanita bukan seperti barang yang ditawar2 untuk mencari ganti rugi. sebenarnya adat Nias terlalu tinggi namun tidak sesuai deng kemampuan warga nias. sebaiknya adat nias
    ” di sederhanakan”

  18. Fransisca Lia said

    Sangat setuju bahwa adat perkawinan nias lebih “disederhanakan”. Pernikahan adalah awal untuk membangun keluarga sejahtera. Intinya bukan dilihat dengan adat perkawinan tersebut membuat miskin, tp bagaimana kesiapan pasangan untuk menikah, termasuk kesiapan materi (biaya). Saya merasa bersyukur karena calon suami saya adalah org Nias jg.. Dan budaya seperti ini sudah sering sy dengar dari nya.. Yang ingin sy tanyakan adalah “setelah menikah di jawa, apakah masih dirayakan di Nias?”
    Yaahowu.. Bandung

  19. Deslina zebua said

    sangadt setuju,…tetapi bukan menghapus adat tetapi menyederhanakan adat itu…

  20. meta said

    saya setujuh banget kalou pernikahan nias itu harus disederhanakan.waloupun saya bukan orang nias sangat sedih melihat orang nias terlalu membela belin uang jujuran padahalkan harus disesuaikan kemampuan keuangan kita

  21. Putri Berlian Zega said

    salam kenal ka Fransisca Lia

    aku tinggal di bandung, klo boleh tahu calon suami ka2 orang mana di Niasnya? pasti cakep ya…hehehe namanya jg orng Nias? boleh tahu identitasnya mungkin aku knal karena kami orng nias sering bertemu dlm perkumpulan orng nias d bandung.

  22. Postinus Gulö said

    Ya’ahowu fefu banuada. Banyak saudara-saudari yang mengomentari tulisan saya ini; Terima kasih. Harapan kita semua adalah marilah memulai perubahan dari diri sendiri. Dan marilah mengingat kata-kata Stephen Covey: “We first make our habit than habit makes us”

    Ya’ahowu
    Postinus Gulo

  23. JM. Zega said

    apapun “MASALAHNYA” inilah “HIDUP” Kawan………

    • eka putra setia said

      kedua orang tua kita”saya hanya ingin melihat anakku bahagia”…
      dan seorang anak berkata”nanti klo aku menikah aku ingin melihat org tuaku bahagia”.
      klo pengen bahagia,dibicarakan secara kekeluargaan,,,bukan karena terpaksa,entar anak kita,ortu kita jg yg sengsara…
      yg jalanin siapa,yg rasakan siapa,,mana org yg rame di saat aku nikah,mana org yg keras dengan pendiriannya,harus sesuai keinginannya,,,mana….
      yg rasakan siapa?
      simak!!

  24. fier gulo said

    Yaahowu saudaraku

  25. harefa said

    Ya,ahowu, Shalom, GBU nias..
    adat Böwö jangan di nilai negatif (kalimat pembuat web kurang elegan)

    • dewi said

      itu memang negatif sobat sampai kapan saudara sesukumu hidup dalam kemiskinan?
      iya klo saudara sesukumu itu kaya tnp hutang tapi klo yg sudah miskin dan berhutang bagaimana?????
      adat memang tidak perlu dihapus tapi sederhanakan yg kiranya berlebihan yg hny membangun budaya miskin….
      pantas saja nias sulit dijadikan propinsi…
      la wong hdp warganya aj susah……
      jan….jan….jan…..

  26. Fredy said

    Saya bukan orang nias tp punya istri orang nias..dan memang benar jurjuran dinias mahal bnget,kesannya spt jual anak perempuan,dan benar orang nias arogan,hanya mementingkan diri sndiri,ga mau ngalah merasa selalu benar pokoke anti salah bener truuuusss

    • yokanan said

      dulu nikah ma cewek nias jujuran brp? di tambah biaya pesta total brp? saya pernah deket dengn orang nias.mundur karena biaya nikah yg tinggi. tidak sanggup

  27. dewi said

    saya orang jawa mohon maf bila berkomentar…
    “bowo” harus lekas di sosialisasikan agar kemiskinan warga nias tidak berkepanjangan karna ini sudah zaman yg berfikir praktis bukan zaman “megalitikum”, adat tetap dipertahankan tp pertahankanlah yg sifatnya membangun bukan menenggelamkan, sungguh ironis mendengarnya dan menyayat hati tentang tradisi warga nias dengan adatnya yang terlalu berlebihan dan tidak logis.
    sepertinya ini ada “mafia adat” yang memang dengan sengaja ingin menenggelamkan orang nias. saya setuju dengan ungkapan penulis diatas bahwa “adat diciptakan untuk manusia bukan manusia yg untuk adat”, hei…!! mafia adat tergeraklah hati nuranimu untuk melihat nasib saudaramu!!!!!
    fuck!! tuk org yg dengan sengaja ingin menghancurkan manusia nias.

  28. semangat buat NIas maju

  29. ridhoi waruwu said

    lebih baik kita memandang ke depan, terlalu membahas hal keseluruhan dari budaya nias, gak mungkinkan 1 orang bisa merubah nias…. Di mulai dari diri sendiri : dngan jelas budaya nias terpapar d dpan mata,bukannyahal ini yg seharusnya dapat membuat kita lebih mampu, bukannya menyerah dngan mngutarakan pendapat” yg berharap mampu merubah nias dngan drastis… Mau nikah? Ya kerja! Cari duit! Bukannya mengkritik! Bowo mahal, wajar donk… Berarti wanita nias juga masih mendapat harga.. Atau tidak berada d bwah tingkatan pria… Setuju!!! Sudah jelas adat mahal! Masih malas”an…. Jauh”lah pikiran kayak gitu! Semoga membantu! Yahowu!!!

  30. petrusgulo said

    petrus Gulo,,

    Syalom!!!!!!!!!!!!. perlu kita tau bahwa budaya dan adat itu adalah ciptaan manusia untuk menunjukkan kesatuan dan kekompakan dalam bersosialisasi dan bermasyarakat,, tetapi dalam hal ini kita harus memperhatikan dengan benar dan jelas apakah tujuan budaya ini membangun atau menyiksa? oleh sebab itu saya sebagai orang Nias sangat suka dengan budayanya tapi tidak suka dengan jujuran yg begitu memuncak dan mahal!! dalam problem ini banyak orang yang mempertahankan bahwa jujuran ini tidak boleh di ubah, namun saya perlu katakan bahwa jangan kita menyamakan keadaan kita yang sudah mampu dengan keadaan yang kurang mampu. dengan demikian pakelah Hikmat Tuhan dalam hal ini..

    saya mau memberi masukan dalam hal ini,,,, berdasarkan kebenaran Firman Tuhan bahwa adat itu bukan suatu tolak ukur untuk melakukan apa yang harus kita inginkan jika tujuannya membuat orang tersiksa, tetapi tolak ukur kita adalah FIrman Tuhan yang hidup! Firman Tuhan berkata “kasihilah sesamamu manusia” disinilah banyak orang yang salah paham, banyak yang berpikir bahwa ketika sudah memberi harga wanita mahal maka itu suatu kebanggaan, sementara kata Firman Tuhan sedang kita sembunyikan untuk mengasihi anak kita atau saudara kita untuk lepas dari utang yang banyak dalam kehidupan keluarganya.

    mari kita lakukan apa yang kita lakukan seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. (kolose 3:23)
    mari kita hidup berdasarkan kebenaran Firman Tuhan bukan berdasarkan budaya dan adat yang hanya sebagian kecil dari kebenaran Firman Tuhan.

  31. bryanpu3 said

    saya berharap adat nias dapat di perbaharui dengan cara yang semestinya agra kita anak – anak nias tidak terlibat dalam kemiskinan…

    • yuli said

      menurut saya ….msalah mahar pernkahannya diturunkan daripada jadi beban hidup kita selamanya… kita nikah bukan untuk menderita melainkan untuk bahagia mencapai kemakmuran mencari kehidupan yang baru bersama pasangan kita bukan malah dibebankan dgan utang gara2 kita nikah….lebih baik nikah dengan cara sederhana dgan tema tidak mlupakn adat istiadat nias …saya bukan orang nias mlainkan orang kalimantan tetapi setidaknya saya juga peduli dengan orang yg tinggal dsnaa yg toh mreka adalah kluarga kita semua …mari nias kita bangkit …

  32. yokanan said

    yg menyedihkan adalah masih banyak generasi muda bahkan yg sudah mengenyam pendidikan di jawa masih setuju dengan budaya ini. tidak beefikir kritis bahkan ada yg bangga dengan budaya yg tidak benar ini. saya memahami jika generasi muda tidak bisa melakukan apa apa karena memang ini sudah spt sistem,lingkaran sistem, tapi jika menyetujui budaya itu sungguh pemikiran yg kerdil

  33. barrycatillack said

    saya orang asal NTT..jadi merinding membaca posting tentang adat perkawinan suku nias..jadi batal kawin ma orang niassss…hihhihi

  34. Nata said

    Maunya adat di nias ini di terapkn bagi yg mampu..kalo tidk mampu jgan di paksakan..maaf kalo salah..ini cm usulan

  35. Nata said

    Kalo orang ganti ganti datang krumah.nagih utang gara gara ikuti standar adat yg besar.pasti dirumah udah saling mnyalahkan.trus dimana lg letak kbahagian itu..udah bisa tetua adat sekepulauan nias brkumpul untuk menyederhanakn adat nias ini..

  36. yeriyuma zai said

    Saya sangat setuju

  37. Ories Hia said

    Artikel yang sangat bagus, saya sangat berterima kasih kepada Bapak Postinus Gulo,

    Memang betul penyebab kemiskinan di Nias adalah utang, karena waktu menikah Bowo( Mahar/Jujuran) sangat mahal

    saya tambahkan lagi satu lagi Pak Postinus Gulo, penyebab kemiskinan di Nias, juga di sebabkan karena terlalu banyak anak, Lawa’o bakhoda na’oya ndraodo ba oya Harazaki ( kalau banyak anak banyak rezeki) ini sebenarnya pendapat yang menenggelamkan pikiran orang Nias.

    padahal kalau sudah besar nanti, mereka juga susah cari makan karena nggak ada tanah sudah di jual semua.

    SAYA TIDAK SETUJU “Pertama, kekerabatan, fambambatösa, fasitenga bö’ösa semakin terjalin, semakin harmoni. Dan, menurut kepercayaan Nias, semua “fadono” yang taat kepada matua nia (mertua) akan diberkati (tefahowu’ö) dan mendapat rezeki. ” saya tidak setuju dengan kata DI BERKATI DAN REZEKI di sangkut pautkan dengan AKIBAT POSITIF, kalau sepengetahuan saya, rezeki dan berkat itu adalah dari Tuhan.

    SAYA SETUJU dengan pedapat BUALA S LOMBU “problem yg sgt berat utk mengubah adat nias karena azas ,dasar,aturan,kebiasaan yg tlah melekat ribuan tahun yg lalu, oleh karena tu saya sgat bersyukur jika ada gagasan dlm memperbaharui sistem adat nias, namun dbalik tu nias adlh masyarakat yg antargonis artinya, hampir menyeluruh memiliki sifat yg kental dgan lingkungan fulgar,tidak brsahabat.
    hanya satu yg ingin saya sayangkan dlm pengenal akan firman TUHAN nias mayoritas kristennisasi,apa yg harus kita lakukan ???? adlh mengkaji lebih dlm lagi apa yg TUHAN ajarkan :
    1.Mengenal tujuan Tuhan dlm hidup kita
    2.Melakukan tujuan Tuhan dlm hidup kita ,
    3.Menyelesaikan tujuan Uuhan dlm hidup kita

    Ya’ahowu, dari Nias Barat, Lauru Mazingo.

  38. Novita Wulandani Gulo said

    Artikel yang sangat jelas dan membangun menurut saya pribadi. Bravo!

  39. ebenhar waruwu said

    orang tuaku,sdr2ku,abang2ku,senior2ku, dan junior2ku salam Yaahowu fefu!!!
    saya kutip hanya satu kata dari setiap komentar,,”SIKAP”
    semoga ini bisa memotivasi kita semua, yang baik di simpan yang jelek taruh di kantong yang bolong!!
    S=Suatu
    I = Ide
    K= Kepribadian
    A= akan
    P = perubahan,,,

    Suatu Ide Kepribadian Akan perubahan di Pulau kita Nias,( jangan kita gali jauh lebih dalam kekhilafan seseorang,,,tetapi kita gali lebih jauh bagaimana Nias mengalami perubabahan yang nyata)
    – mangide-ngide,0 awonia menjadi pujian buat orang lain
    – fayawasa menjadi sikap saling memberi hormat
    – farisa awonia menjadi saling memotifasi
    – faafokho ba dodo awonia menjadi saling berbagi
    – dlll
    “‘ hal-hal yang diatas yang sangat mengganggu” kehidupan
    skali lagi Yaahowu

Leave a reply to Batu soyo Cancel reply