Hidup Berkomunitas!
Posted by niasbaru on March 14, 2008
Marinus W.
Istilah komunitas merupakan istilah yang abstrak, umum. Komunitas tidak terbatas pada hal-hal tertentu. Tapi arti, dan kaitannya luas. Istilah ini tidak hanya diterapkan untuk sekelompok manusia yang hidup, saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Namun, istilah ini juga dapat diterapkan untuk menyebut kelompok hewan, atau tumbuhan sekalipun. Maka dalam interaksi manusia ada yang namanya komunitas religius (kaum biarawan), komunitas preman, atau komunitas politikus (para pemegang kekuasaan). Sedangkan untuk hewan ada komunitas semut, komunitas kuda, komunitas babi, kera, ayam, bahkan komunitas semut, dan sebagainya. Jadi terlihat sekali bahwa komunitas berlaku untuk apa saja baik dalam ruang lingkup manusia, hewan maupun tetumbuhan. Namun dalam tulisan sederhana, singkat ini, yang menjadi pokok bahasan utama adalah komunitas religius terutama kaum berjubah. Memang setiap Imam Diosesan, Ordo, konggregasi, dan lain-lain punya orientasi yang saling berbeda antara satu dengan lainnya dalam menjalani hidup panggilannya. Ordo Salib Suci misalnya. Para konfrater Salib Suci, yang menjadi orientasi dalam hidup mereka adalah hidup bersama dalam komunitas. Sedangkan para Imam-imam projo yang ditekankan adalah karya, dan begitu juga para Frasiskan yang menjadi hal utama dalam hidup mereka adalah kemiskinan. Kendati berbeda antara satu dengan yang lainnya, hidup bersama tetaplah menjadi perhatian kaum religius, kaum berjubah. Perbedaannya hanyalah soal penekanan dalam hidup sehari-hari.
Bagi seorang religius dalam hal ini kaum berjubah, hidup bersama dalam komunitas bukanlah hal baru, asing. Sejak mencakokkan diri menjadi anggota dalam suatu Ordo, Konggregasi, Diosesan, ia akan selalu mengalami, menjalani yang namanya “hidup komunitas”. Dan ini adalah pilihan bebas pribadi tertentu untuk hidup bersama dengan para saudara yang lainnya. Segala konsekuensi dari hidup hidup bersama harus diikuti, ditaati. Entah aturan-aturan, atau berbagai kebijakan bersama yang berlaku dalam hidup bersama. Karena itu, ketika sesorang akan memutuskan ikut bergabung dengan komunitas terdahulu, terlebih dahulu harus dipikirkan, direfleksikan dengan matang dibawah bimbingan Roh Allah yang menyala-nyala.
Berkomunitas ala kaum berjubah sangatlah berbeda dengan berkomunitas ala pengusaha, atau para kapitalis, bahkan preman sekalipun. Menurut Filsuf sekaligus Teolog jaman patristik St. Agustinus, yang ditekankan dalam komunitas kaum religus (berjubah) adalah adanya totalitas setiap pribadi untuk bergabung, bersatu, sehati, sejiwa dalam kehidupan bersama. Totalitas dalam arti bahwa menjadi anggota komunitas bukanlah setengah-tengah. Tapi seluruh hidup dengan segala kepunyaan diserahkan, dan digunakan untuk komunitas. Maka, di sini tidak ada milik pribadi, entah itu kekayaan dalam bentuk uang, atau emas. Yang ada hanyalah milik bersama. Dan berguna untuk kepentingan bersama. Pendapat St. Agustinus ini akan sangat berbeda sekali jika dihadapkan dengan komunitas para pengusaha atau kapitalis. Rivalitas, persaingan antara sesama anggota biasanya selalu mewarnai kehidupan komunitas ini. Sehingga unsur pengabdian dan kerendahan hati di dalamnya tidak ada.
Selain itu, totalitas juga menyangkut keterbukaan, menerima yang lain, dan komitmen terhadap panggilan sebagai seorang religius. Terbuka dalam arti jujur kepada yang lain. Karena itu, tidak ada yang harus ditutup-tutupi. Menerima yang lain berarti siap menerima anggota komunitas yang lain entah bodoh atau pintar, menyenangkan atau tidak menyenangkan, dan mampu menerima juga segala kelebihan dan kekurangan sesama anggota komunitas demi terbangunnya suatu komunitas yang harmonis, dan sesuai nilai-nilai injili. Selain itu adalah komitmen terhadap panggilan. Komitmen terhadap panggilan akan sangat teruji ketika dihadapkan dalam suatu masalah, entah itu yang menyangkut pribadi atau hidup bersama. Karena itu, sikap totalitas dalam menjalani panggilan akan tampak. Apakah mudah menyerah atau tetap maju, berjuang bersama saudara yang lain dalam mewujudkan panggilan Tuhan.
Karena itu, hidup bersama dalam komunitas bisa diidentikan atau diandaikan dengan hidup sepasang suami istri yang membangun rumah tangga. Di mana sikap dan tindakan yang menjadi orientasi dalam hubungan mereka adalah totalitas diantara mereka berdua. Keduanya menjadi satu tubuh, satu tujuan, dan satu arah. Milik pribadi tidak ada, tapi dimiliki secara bersama-sama, keterbukaan, dan saling menerima kelebihan serta kekurangan satu sama lain adalah mutlak ada. Dan tujuannya hanya satu yaitu membangun keharmonisan dalam keluarga. Sebab itu, nilai-nilai yang ada dalam keluarga seperti ini, juga patut ditumbuhkembangkan terus menerus dalam kehidupan bersama khususnya dalam hidup berkomunitas. Hidup berkomunitas akan sengat nikmat, jika ada totalitas dalam diri kita. Amin!
Marinus W.
Mustika Ranto Gulo said
language image: “kommunie=comunitas=community=communisme dan
sebagainya”.
Tulisan anda sangat bagus, dan saya tertarik karena kata “KOMUNITAS”
anda pilih sebagai kata kunci. Saya menanggapi bahwa pola kehidupan pada
dasarnya “Community ideal” sesuai dengan ref dari bible “Lihat Proses
Penciptaan”.
Hidup bersama dalam sepenanggungan sudah teruji bertahun-tahun, namun
tidak sedikit tantangan yang terjadi: Saya hanya ambil Ref Bible saja.
Pengkhianatan terhadap cara hidup berlelompok “Community Ideal pertama
sekali terjadi etika HABEL & KAIN BERSETERU”. Beberapa kejadian
berikutnya sampai sekarang didasari pada “IRI HATI, KETIDAK ADILAN, dan
NAFSU INGIN BERKUASA”.
Ketika Liberalisme bertumbuh dianggap sebagai jawaban, namun kaum
sosialis tidaklah demikian, mereka selalu ingin hidup sepenanggungan dalam
kelompok yang disebut KAUM KOMUNISME”. (BUKAN KOMUNISME DALAM ARTI
SEMPIT YANG DISAMAKAN DENGAN KAUM PARTAI KOMUNIS INDONESIA), Namun KAUM
KOMUNISME (Penganut Hidup berkomunity) selalu ingin hidup bahagia secara
merata dan sama-sama memiliki peluang untuk kaya dan sebaliknya untuk
miskin. Makanan dan minuman, baik enak maupun pahit selalu dirasakan
bersama. Uangmu adalah uangku, mereka ingin kompak dalam kelompok yang
sangat solidaritas tinggi.
Nah, masalahnya sekarang bagaimana cara hidup yang menjunjung tinggi
etika hidup berkomunitas yang baik, tentu ribuan pasal dan ayat2 yang
mengaturnya dalam tatanan kehidupan kita sehari-hari.
Kesimpulan sementara adalah bagaimana mengendalikan diri agar tidak
menyenggol kepentingan orang lain yg hakiki dalam ruang komunitas yang
solid.
Kalau melihat realita kehidupan kita sekarang, sudah disusupi oleh
kepentingan priadi yang sangat dominan. Tentu cara hidup berkomunitas
sangat sulit sekali diwujudkan.
Lihat perjuangan kita selama ini, menyatukan kelompok masyarakat yg
dipicu dari latar belakang marga, kedaerahan, atau solidaritas karena
merasa tertindas, itupun hanya bayang-bayang semu. Dipermukaan okay, namun
setelah berjalan, maka ada naluri untuk berpisah, untuk saling
menyakiti dan tidak lagi “community ideal” karena berbagai faktor.
Kaum Penyanjung Community Ideal, tertinggal sekarang karena menganggap
bahwa ‘urusanmu bukan urusanku”. Hanya beberapa gereja kharisatik yang
berjuang untuk bertahan dengan sebutan misalnya “FAMILY ALTAR”
“KELOMPOK SEL” ATAU KPA (KELOMPOK PERSEKUTUA DOA) dan lain-lain. Gerakannya
didasarkan pada Firman Tuhan untuk saling melayani satu sama lain. Saling
tolong menolong “Bertlong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikian kamu
memenuhi hukum Krisus” Galatia 6:2.
Thank You,
Best Reards,
Mustika Ranto Gulo
08557878556
Marinus W. said
Yaahowu!
Salam kenal, Salam kasih Pak KETUM Pilar Nias Barat. Terima Kasih Bapak telah berkenan mampir, dan memberika komentar di gubuk kita yang kecil ini. Teruskan diskusinya Pak
Salam
Bandung-Mandrehe